Contoh Soal Revolusi Sosial di Aceh
Contoh Soal Revolusi Sosial di Aceh - Semasa kolonialisme Belanda, tatanan sosial masyarakat di Aceh bisa dikatakan menyerupai sistem kasta di India. Di Aceh dikenal uleebalang yang merujuk pada seseorang dengan kekuasaan sebagai pemimpin nanggroe, sebuah wilayah otonom yang mendapat kekuasaan dari Sultan Aceh. Mereka identik dengan gelar Teuku dan Cut. Dalam pelaksanaan kekuasaannya, uleebalang mendapatkan kekuasaan penuh tanpa harus berkonsultasi dengan Sultan Aceh untuk setiap pengambilan keputusan. Belanda menyebut uleebalang sebagai zelfbestuurder dan wilayah kekuasaannya sebagai Land Schoppen.
Kekuasaan uleebalang mencapai puncaknya ketika Belanda mulai memberlakukan administrasi sipil di Aceh dan menunjuk uleebalang sebagai perwakilannya. Uleebalang dengan leluasa mengadakan perjanjian dengan kolonial Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya melalui Korte Verklaring yang didesain oleh Snouck Hourgronje dan terdiri dari 18 pasal. Inti dari perjanjian ini, antara lain:
a) Wilayah uleebalang adalah bagian dari Hindia Belanda.
b) Uleebalang melakukan penjagaan di wilayahnya dari pihak asing dan tidak mengadakan kerja sama dengan siapa pun tanpa seizin kolonial Belanda.
c) Mengizinkan pengawasan oleh Belanda untuk masalah bea cukai dan pungutan-pungutan lain jika diperlukan.
d) Mengangap musuh Belanda sebagai musuh uleebalang juga dan mengakui nanggroe sebagai bagian dari Hindia Belanda
a) Wilayah uleebalang adalah bagian dari Hindia Belanda.
b) Uleebalang melakukan penjagaan di wilayahnya dari pihak asing dan tidak mengadakan kerja sama dengan siapa pun tanpa seizin kolonial Belanda.
c) Mengizinkan pengawasan oleh Belanda untuk masalah bea cukai dan pungutan-pungutan lain jika diperlukan.
d) Mengangap musuh Belanda sebagai musuh uleebalang juga dan mengakui nanggroe sebagai bagian dari Hindia Belanda
Dengan perjanjian ini, kolonial Belanda memberikan beberapa keistimewaan kepada uleebalang yaitu:
• Uleebalang berhak memerintah mewakili kolonial Belanda di Aceh.
• Adat-istiadat yang berlaku di wilayah otonom diatur menurut kehendak pribadi uleebalang.
• Membentuk lembaga peradilan sendiri, yakni Land Scheepsrecht, untuk memutuskan hukuman atas pelanggaran di wilayah otonom.
Kesewenangan uleebalang mendapatkan perlawanan dari masyarakat, terutama ulama yang menggabungkan dirinya dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Dalam perjuangannya, organisasi ini turut pula memberikan pendidikan bagi masyarakat Aceh yang saat itu memiliki akses terbatas untuk memperoleh pendidikan akibat tekanan dari uleebalang.
• Uleebalang berhak memerintah mewakili kolonial Belanda di Aceh.
• Adat-istiadat yang berlaku di wilayah otonom diatur menurut kehendak pribadi uleebalang.
• Membentuk lembaga peradilan sendiri, yakni Land Scheepsrecht, untuk memutuskan hukuman atas pelanggaran di wilayah otonom.
Kesewenangan uleebalang mendapatkan perlawanan dari masyarakat, terutama ulama yang menggabungkan dirinya dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Dalam perjuangannya, organisasi ini turut pula memberikan pendidikan bagi masyarakat Aceh yang saat itu memiliki akses terbatas untuk memperoleh pendidikan akibat tekanan dari uleebalang.
Pertentangan fisik antara masyarakat dan PUSA dengan uleebalang terjadi di tahun 1945 ketika gaung proklamasi kemerdekaan RI sampai ke Aceh. Dengan perginya Jepang, masyarakat dan ulama mengharapkan perubahan akan datang ke Aceh seiring dengan kemerdekaan yang diperoleh. Namun proklamasi kemerdekaan ini mendapat halangan dari uleebalang yang merasa keberatan karena hak- hak istimewanya akan dicabut seiring dengan merdekanya Indonesia. Pertentangan ini akhirnya menimbulkan perang senjata antara PUSA yang didukung masyarakat dengan uleebalang. Perang tersebut dikenal juga dengan ‘Revolusi Desember’ atau ‘Perang Cumbok’ yang dimulai pada Desember 1945 hingga Januari 1946. Perang dipimpin oleh Teuku Cumbok dari uleebalang dan Tengku Daud Beureueh dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh.
Setelah melakukan pembantaian terhadap rakyat Aceh, Teuku Cumbok berupaya untuk melarikan diri ke Sabang yang saat itu masih dikuasai oleh kolonial Belanda. Pelarian bermaksud menghindari pasukan revolusioner rakyat Aceh yang memburunya untuk diadili. Namun, pada tanggal 16 Januari 1946, dalam upayanya menuju Sabang, ia dibekuk oleh Barisan Rakyat Aceh Besar yang dipimpin oleh Teuku Ahmad Abdullah. Dengan tertangkapnya Teuku Cumbok maka berakhirlah perang dan sekaligus runtuhnya kekuasaan feodal uleebalang yang menguasai Aceh.
S1
Sistem sosial masyarakat di Aceh semasa kolonial Belanda dinilai sama dengan tatanan sosial masyarakat di ….
S2
Uleebalang memperoleh kekuasaan otonominya dari ….
S3
Zeelfbestuurder adalah sebutan Belanda untuk ….
S4
Perjanjian yang diadakan uleebalang dengan pemerintahan kolonial Belanda disebut dengan ….
S5
Tokoh Belanda di balik perjanjian antara pemerintahan kolonial dan uleebalang adalah ….
S6
Untuk mengadili perkara-perkara di wilayah otonomnya, uleebalang menggunakan pengadilan ….
S7
Peranan PUSA dalam Revolusi Sosial di Aceh adalah ….
S8
Revolusi Sosial di Aceh berlangsung tidak lama setelah peristiwa ….
S9
Perang Cumbok berlangsung sejak ….
S10
Daerah pelarian yang dituju oleh Teuku Cumbok setelah peristiwa pembantaian Revolusi Aceh adalah ….