Contoh Soal Menentukan Topik Cerpen

Contoh Soal Menentukan Topik CerpenCerpen biasanya dapat dibaca di majalah, koran, atau antologi cerpen. Sebagai suatu teks, cerpen memiliki karakteristik yang berbeda dari teks-teks lainnya, seperti teks berita, esai, atau artikel. Namun demikian, sebagaimana umumnya suatu teks, sebuah cerpen pasti memiliki suatu topik yang menjadi landasan utama isinya. Pada pembahasan ini, akan dijelaskan langkah-langkah menentukan topik suatu cerpen. Simak materi dan contoh berikut ini!
      Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa. Cerpen memiliki isi cerita yang lebih pendek daripada novel atau roman. Panjangnya tidak lebih dari 10.000 kata sehingga muncul anggapan bahwa cerpen dapat habis dibaca dalam satu kali duduk. Cerpen memiliki alur tunggal, yaitu rangkaian peristiwa di dalamnya cenderung sederhana, tidak memiliki konflik yang banyak, serta konflik di dalamnya tidak menyebabkan perubahan nasib pada tokohnya.
      Sebagai suatu karya sastra, cerpen tentu memiliki unsur-unsur intrinsik, yaitu unsur pembangun cerpen dari dalam cerpen itu sendiri, seperti: tema, amanat, latar, alur, tokoh dan penokohan, serta sudut pandang. Di antara unsur-unsur tersebut, tema merupakan salah satu unsur pokok dalam cerpen. Tema ialah ide pokok yang menjadi dasar cerita suatu cerpen. Dasar cerita tersebut sering juga disebut dengan topik.
      Topik adalah gagasan yang dijadikan dasar cerita dalam sebuah cerpen. Menentukan topik suatu cerpen sama saja mencari tahu “tema-tema kecil” dari cerpen tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa topik merupakan bagian dari tema suatu cerpen. Suatu cerpen pasti memiliki sebuah tema atau topik besar yang menjadi gagasan utama. Namun demikian, bagian-bagian kecil dari cerpen bisa jadi terdiri atas beberapa topik kecil lainnya.
      Untuk dapat menentukan topik suatu cerpen, langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
  1. Membaca seluruh isi cerpen dengan saksama;
  2. Menandai setiap peristiwa dalam cerpen secara berurutan;
  3. Menentukan topik kecil dari setiap urutan peristiwa yang telah ditandai;
  4. Menentukan tema sebagai topik besar dari cerpen tersebut.

Perhatikan Contoh

Sebagai contoh, perhatikan penggalan cerpen berikut ini!
Bimbel Spesial Liburan
Oleh: Reza S. Nugraha
      Selamat datang kampung liburan!
      Radit begitu puas menginjakkan kakinya di kampung ini. Wajahnya kian sumringah tatkala Sam menyetop mobil pribadi yang disulap menjadi angkutan umum ini.
      “Ini dia dusunku,” ujar Sam sebelum melangkahkan kakinya.
      “Wah, hutan bener, ya... Tapi, swear belum apa-apa, udah berkesan banget, apalagi tadi sepanjang perjalanan!” tutur Radit yang masih masih mengeluarkan ekspresi takjub.
      Sam tak perlu tersinggung dengan ucapan Radit. Hutan. Memang benar ini hutan. Tapi inilah tanah kelahiran Sam. Sebuah pemukiman para transmigran di utara Bengkulu. Orangtua Sam asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Tiga puluh tahun lalu, Apa dan Emaknya meninggalkan tanah Pasundan demi melaksanakan program pemerintah kala itu, transmigrasi.
      Sam sendiri lahir dan besar di Bengkulu. Selepas menyelesaikan SD-nya, ia hijrah ke kota Bengkulu untuk melanjutkan sekolah hingga SMA. Sudah barang tentu, ia lebih pantas disebut orang Bengkulu dari pada orang Sunda. Budaya Bengkulu kian melekat pada dirinya. Ia belum pernah tahu tanah kelahirannya, kecuali saat ini, karena ia kuliah di Bandung.
      “Dit, udah dong kagumnya, kita mulai cabut ke rumahku,” ajak Sam memecahkan rasa takjub Radit.
      “Iya, bentar. Wah, gue seneng banget suasana di sini. Adem kayaknya,” ungkap Radit yang masih menampakkan kekagumannya.
      “Ya, di sini gak kayak di rumah kamu. Panas!”
      “Oh, jadi elu nyesel gue ajak ke rumah?” Radit ngotot.
      “Nggak, nggak. Bercanda.”
Sepanjang jalan, mereka melalui banyak pepohonan karet dan kelapa sawit. Sesekali ada pohon kelapa, ada perkebunan coklat, dan aneka hasil hutan lainnya.
      “Gila, Sam! Berapa lama lagi sih ke rumah lu? Jauh amat dari jalan utama. Kaki gue tepos nih,” gerutu Radit.
      “Sedikit lagi. Rumah aku di ujung jalan ini. Paling pojok.”
      “Buset, deh! Bener lu ya, butuh perjuangan buat menuntut ilmu. Jauh-jauh dari Bengkulu ke Bandung. Gila, gue hampir mati ketegangan selama perjalananan. Gue kira 30 jam Bandung ke Kota Bengkulu itu cukup. Eh, gak taunya nambah 10 jam lagi ke rumah lu. Ya Allah selamatkanlah hamba-Mu ini.”
      “Ya, namanya juga takdir. Dulu aku ingin sekali lihat tanah kelahiran orangtuaku di Tasik. Jawa tuh seperti apa, eh ternyata sama aja.”
      “Sama apaan? Jauh kali. Yang ada di sana serba modern. Jalan tol, mal, hotel. Lah di sini, hutan semua kayak gini. Listrik juga belum ada kan?”
      “Enak saja. Listrik udah ada di sini. Cuma nyalanya dari jam enam sore sampai jam dua belas malam.”
      “Masya Allah.”
      “Lagi pula di Bandung atau Tasik juga masih banyak juga daerah terpencil.”
      “Iya, tapi gak kayak gini.”
      Mereka terus saling meledek. Tapi, biar bagaimana pun Radit tetap senang dengan liburannya kali ini. Ini kali pertamanya melangkahkan kaki di Pulau Sumatra. Apalagi, Sam punya misi besar untuk mengubah Radit. Memang, apa yang mesti diubah dari Radit?
      “Pokoknya, kamu di sini harus mau menjalani terapi,” ujar Sam.
      “Iya, siap. Gue siap menjalankan misi besar dalam hidup gue: reformasi.”
      Sam nyengir.
      “Dasar, orang kota. Pulang dari sini, kamu jadi hitam, aku gak tanggung jawab ya!”
      “Iya, asal gue dikasih makan aja yang rutin. Yang jelas lu siap kan jadi guru gue?”
      “Iya.”
      Akhirnya mereka sampai di rumah Sam. Rumah permanen yang baru saja dibangun satu tahun lalu. Sebelumnya rumah Sam hanya bilik yang beratap alang-alang. Rumahnya dikelilingi rimba yang penuh dengan aneka ragam pepohonan. Di sebelah barat ada kebun karet, di sebelah timur ada sawah dengan kolam-kolam ikan nila, mas, mujair, di sebelah utara masih kebun karet dan ada juga sawit, dan di sebelah timur ada jalan yang kita lalui yang di sepanjang jalannya berjajar pohon serbamacam.
      Setelah menyalami kedua orang tuanya, Sam mengenalkan tamu ‘kota’-nya itu. Menjelang senja, mereka saling melepas rindu. Mereka hanya berempat. Kedua orangtua Sam tinggal di rumahnya. Sedangkan kakak-kakak Sam yang lain bertempat tinggal di kota dengan keluarganya masing-masing.
      Jika diperhatikan secara saksama, cerpen tersebut bercerita mengenai perjalanan Radit yang berasal dari kota ke sebuah desa di tengah hutan tempat Sam tinggal. Perjalananan tersebut mengesankan Radit karena ia baru pertama kali melakukan perjalanan selama empat puluh jam ke sebuah desa yang terletak di hutan. Berdasarkan penggalan tersebut, maka topik cerpen tersebut adalah perjalanan yang mengesankan.

Poin Penting

  1. Cerita pendek (cerpen) adalah karangan pendek yang berbentuk prosa;
  2. Topik adalah gagasan yang dijadikan dasar cerita dalam sebuah cerpen;
  3. Topik merupakan bagian dari tema suatu cerpen.

Contoh Soal Menentukan Topik Cerpen



Perhatikan cuplikan cerpen berikut ini!
Gerbang itu menjulang gagah. Merah dan putih. Di sebelah kanan, pintu khususnya tertutup dan digembok. Rupanya, aku terlambat datang.
Di pintu itu, kubuka lubang kecil untuk membuka gembok. Kuintip, rupanya halaman sekolah tampak hening. Semua penghuninya sedang belajar dengan khusuk.
Hmmm.
Suara itu mengagetkanku. Rupanya Pak Parman ada di depanku, di seberang gerbang. “Kamu lagi, kamu lagi!” bentak Pak Parman.
“Eh, maaf, Pak. Boleh masuk, Pak?”
Pak Parman membuka pintu yang digembok dengan ketus. Tatapannya tajam. Apalagi wajah hitamnya membuatnya semakin seram kalau sedang marah. Setiap ada yang terlambat pasti tak pernah yang berani menatap mata Pak Parman lama-lama. Takut terbawa mimpi, celoteh Agus pernah suatu hari. Pantas saja, Pak Parman mendapat predikat penjaga sekolah terbaik se-SMA tingkat nasional. 
Setelah gerbang dibuka. Aku segera berlari menuju kelas. Di kelas, Pak Darman sudah memulai pelajaran. Tandanya, aku tak perlu lelah-lelah bernegosiasi. Aku tinggal menunggu di luar kelas.
("Titip Rindu pada Semilir Angin", Reza S. Nugraha)
Topik cuplikan cerpen tersebut adalah ....
Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
Lapangan yang tak adil, kata Aswin. Bek kanan yang tangguh, tapi mudah terpancing emosi. Ia tidak membenarkan, tak juga menyangkal. Pemain lawan juga sering mengeluh jika bertanding di lapangan sepak bola kampungnya itu. Kesebelasan yang mendapat giliran menempati sisi lapangan yang landai mesti berjuang lebih keras. Bola bakal bergulir lebih liar dan lawan menyerbu seperti air bah. Setiap kali bola datang, Aswadi kiper timnya, terpontang-panting mengamankan gawang. Sebaliknya, alangkah sulitnya menggiring si kulit bundar ke gawang sebelah.
Usianya kala itu baru belasan tahun. Mereka patungan menyablon kaus. Biru cerah seperti kostum Les Bleus, tim nasional Prancis. Ia kebagian nomor punggung tujuh. Gelandang kiri. Sebetulnya ia lebih suka bermain sebagai penyerang dan selalu yakin ia pemain haus gol. Serangan-serangannya tajam, menusuk langsung ke jantung pertahanan lawan. Namun, Bang Amran berkeras ia harus main di sayap.
“Tendanganmu kurang akurat, tapi umpan-umpanmu bagus!” kata kakak iparnya yang menjadi pelatih kesebelasan kampungnya itu. Tak ada gunanya berbantah. Toh, ia melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Bola mengalir deras dari kakinya. Umpan demi umpan dengan gemilang disorongkannya. Ferdiansyah dan Fuad selalu mampu memanfaatkan umpan-umpannya dengan cukup baik.
(“Kenangan pada Sebuah Pertandingan”, Sunlie Thomas Alexander)
Alasan tokoh Aswin lebih pantas menjadi pemain sayap adalah ....
Perhatikan penggalan cerpen berikut ini!
Raden Makmur terkejut seketika. Ia dituduh sebagai pelaku pencurian tali pocong di pemakaman umum Dusun Haur Jambu. Tuduhan itu disampaikan massa yang berdemo di depan rumahnya sejak kemarin pagi.
“Pak Mandor, saya heran, sebetulnya kurang apa saya mengabdi pada dusun ini. Bukankah separuh harta saya sudah saya keluarkan untuk membiayai masyarakat di sini termasuk pembangunan WC umum!” Katanya dengan nada emosi lewat telepon seluler.
“Tapi, Pak Raden, saya sebetulnya masih tak percaya. Cuma selaku Mandor, saya wajib mengamankan dusun ini, Pak, dari tindak anarkis. Saya gak tahu, kenapa massa tiba-tiba mendemo Pak Raden,” seloroh Mandor Makmun dengan perasaan was-was, takut posisi terelit di dusun Haurjambu lepas dari namanya.
Kini, posisi Raden Makmur semakin terdesak. Ia terkurung di dalam rumahnya bersama delapan pembantunya. Massa masih berdiam di luar rumahnya yang paling mewah dan mencolok di Dusun Haurjambu.
Demonstrasi dipimpin oleh Munandar, tokoh muda dusun yang berpengaruh di hampir semua RW, kecuali RW 4 tempat Raden Makmur tinggal. Munandar mengaku menemukan bukti dan saksi yang melihat langsung kejadian. Menurut saksi, orang yang menyusup masuk ke pemakaman dan mengambil tali pocong jenazah yang matinya masih dalam keadaan gadis adalah Saepi, pembantu sekaligus kaki tangan Raden Makmur. Otomatis, masyarakat menuduh Saepi telah disuruh oleh majikannya.
Masyarakat juga menduga, tali pocong itu digunakan untuk ilmu hitam karena Raden Makmur yang menduda lima kali ini semakin hari kian kaya raya. Setiap hari selalu ada yang baru. Mobil, motor, atau tanah di kampung sebelah selalu saja ada yang dibeli tiap harinya. Ada juga yang menduga, tali pocong itu dicuri dengan harapan Raden Makmur bisa kembali menikahi seorang gadis—seperti selama ini terjadi—meskipun akhirnya ia bercerai sebelum memiliki anak.
("Tali Pocong Perawan", Reza S. Nugraha)
Latar belakang terjadinya demonstrasi terhadap tokoh Raden Makmur adalah ....
Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
Seolah, selama setahun disembunyikan dan hanya digelontorkan saat Ramadhan, kolak melimpah ruah sepanjang hari-hari puasa. Meskipun misterius, kurma yang mendadak melimpah di swalayan modern hingga pasar tradisional masih masuk nalar. Meski bermula dari Tanah Persia, nyatanya sebulan menjelang puasa hingga pasca- Lebaran kurma mudah sekali ditemukan. Bersama hadis cara Nabi berbuka, buah pokok Phoenix dactylifera lantas mendunia. Lantas, bagaimana dengan kolak? Tak ada ulama, kiai, ustaz, atau wali menyahihkan bahwa kolak kudapan khusus saat Ramadhan. Tapi, semua seperti sepakat kolak hanya enak dimakan saat buka puasa. 
Pun, di meja makanku. Sejak hari pertama Ramadhan, menu kolak selalu hadir menyapa kehampaan perut setelah seharian menahan lengang lapar dan gersang dahaga.
“Bisa-bisa, Lebaran nanti aku kena diabetes,” sindirku. Indit menuang sambal kacang dan sambal kecap di mangkuk terpisah untuk pelengkap satai ayam dan satai kambing. Senyumnya mengembang rembulan tanggal lima. Tipis, manis, dan meruntuhkan segala jenis pitam.
(“Kolak”, Teguh Affandi)
Topik cuplikan cerpen di atas adalah ....
Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
Tanpa terasa mobil sudah memasuki area lapangan terbang Halim Perdana Kusumah. Nina tampak gelisah sambil memandang keluar jendela mobil. Diperhatikannya para prajurit berseragam loreng itu bersama-sama keluarganya. Ada yang tertawa lepas, bermain-main dengan anak-anaknya, dan sebagian tampak prajurit yang sedang menghibur seseorang di sampingnya.
“Akhirnya, kita sampai,” ujar Mas Bagas sambil memarkirkan mobilnya. Di luar salah satu prajurit mendekati. Mas Bagas lalu membuka jendela mobil.
“Hei, Mas, akhirnya sampai juga,” sapa prajurit bernama Aditama itu.
“Iya, nih. Tuh, Dit, istrimu dari tadi melamun terus,” goda Mas Bagas sambil melihat ke arah Nina.
Aditama pun mendekat ke arah Nina dan membuka mobilnya. Nina terlihat sangat tidak semangat. Apalagi hari itu, dia akan melepas suaminya untuk pergi ke Lebanon menjadi pasukan perdamaian PBB.
...
("Prajurit Hatiku", Reza Sukma Nugraha)
Berdasarkan cuplikan cerpen di atas, topik disampaikan adalah ....
Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
Ibu menelepon mengabarkan bahwa adikku Hanum sudah mendapatkan jodoh, Baskara namanya, seorang insinyur yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum, lelaki baik-baik dari keluarga baik-baik.
Bagiku ini sebuah kejutan. Bagaimanapun Hanum adalah perempuan yang sulit didekati laki-laki, sehingga agak sulit pula mendapatkan jodoh. Beberapa kali ia menjalin hubungan dengan laki-laki, tapi kemudian mereka lekas menjauh setelah mengetahui watak Hanum yang lugas, kritikal, bahkan terkadang agak sinis. Tapi, setiap kali putus hubungan, Hanum cuek saja dan seolah tidak ambil pusing. 
Ia bilang ia tidak mau sembrono memilih suami. Ia tidak menginginkan perkawinan yang membawa sengsara. Perkawinan adalah suatu deal yang dibuat secara bebas. Suatu kesepakatan yang demokratis dan egaliter. Masing-masing harus mampu memikul kewajiban dan tanggung jawab sebaik-baiknya. Begitu ia selalu berkata.
(“Pulang”, Adi Wicaksana)
Alasan banyak laki-laki menjauhi Hanum adalah ....

Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
Suasana bertambah tidak nyaman buatku. Ibu tampak salah tingkah dan bingung hendak berbicara apa. Sedangkan bapak, aku tidak berani menatap wajahnya. Aku hanya bisa memastikan bahwa bapak tengah marah.
“Mau jadi apa nanti kamu kalau memilih jurusan Bahasa?” tanya bapak dengan suara meninggi.
“Tapi, Pak, aku lebih suka belajar bahasa asing ketimbang ilmu eksakta,” ujarku agak terbata.
“Bahasa asing bisa kamu pelajari sendiri. Lagi pula di jurusan IPA juga belajar bahasa Inggris. Nilai IPA-mu semua bagus, sayang kalau tidak digunakan,” ujar ayah tetap dengan pendiriannya.
“Sudahlah, Pak, biarkan Yudis menentukan sendiri. Dia kan sudah dewasa. Kita dukung apa yang menurutnya paling baik,” kata ibu lirih berusaha mendinginkan suasana.
....
("Salah Jurusan", Reza Sukma Nugraha)
Bukti bahwa tokoh ibu memiliki watak bijaksana adalah ....
Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
Memang, beberapa hari belakangan Haji Jamal tidak kelihatan ikut shalat magrib dan subuh berjamaah di masjid. Biasanya, kalau Wen duluan datang ke masjid, ia mendatangi dan menyalami Wen. Gampang menandainya, karena kebiasaan Haji Jamal memakai peci hitam bersulam benang emas, seperti biasa dipakai engku-engku datuk di tanah Minang serta berbaju koko berenda-renda. Hanya dia yang memakai peci seperti itu. Selain itu, Haji Jamal selalu memakai parfum khas Arab tiap datang ke masjid. Wen suka shalat di samping dia, ketimbang di samping Bang Malo, penjual ayam potong, berkumis ubanan yang bau tembakau dan apak asap rokok. Wen juga tidak suka shalat di samping lelaki muda penjual pulsa telepon yang kebiasaannya tiap sebentar mendehem dan sendawa seperti habis menegak tuak meski sedang shalat.
Haji Jamal orang baik, setidaknya di mata Wen. Dia selalu memberi kabar bahwa dia sudah baca tulisan Wen di koran lokal dan dia senang, lalu menyalami Wen. Tempo-tempo Wen menulis kolom dan kadang-kadang menulis komentar. Sejak Wen pensiun, Wen semakin gencar menulis untuk koran lokal, sekadar untuk menangkal atau menunda datangnya pikun, andaikata usia Wen dipanjangkan Allah. Kata orang, kalau usia senja tidak dibarengi dengan kegiatan membaca, kalau dapat sekalian menulis, bakal cepat pikun. Sejak muda Wen memang terbiasa menulis di koran-koran lokal sekadar menyalurkan hobi. Hobi itulah yang dilanjutkannya lagi setelah pensiun.
(“Cincin Akik di Kamar Mandi”, Harris Effendi Tahar)
Peristiwa berikut sesuai dengan isi cerpen di atas, kecuali ....
Perhatikan cuplikan cerpen berikut!
Kiai Bahri lagi-lagi tersenyum. Ia yakin, malam ini para jemaah di Langgar Kiai Akbar pasti pindah memenuhi syaf di langgarnya. Ia akan menambah kecepatan salatnya dengan mengambil surah-surah paling pendek, dan membacakan kalimat salat yang wajib-wajib saja.
Tarawih hampir selesai, Kiai Bahri menoleh perlahan sambil tersenyum, melihat seberapa banyak jemaah yang datang. Tiba-tiba wajahnya laksana malam yang pekat. Jemaah tarawih belum bertambah seorang pun. Besok malam tetap sama. Tak seorang pun yang datang. Bahkan yang rutin bertarawih di langgarnya kini telah menghilang, hingga yang tersisa hanya beberapa orang, yang tak lain ialah menantu dan anak-anaknya.
(“Langgar Kiai Bahri”, Marsus Banjarbarat)
Dugaan yang menjadi gagasan dalam cerpen di atas adalah ....
Cuplikan cerpen yang memiliki topik mengenai pertengkaran adalah ....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel