Contoh Soal Pengembangan Konflik dalam Menulis Cerpen
Contoh Soal Pengembangan Konflik dalam Menulis Cerpen - Pada topik ini, kalian akan mempelajari langkah-langkah mengembangkan konflik dalam cerpen yang ditulis berdasarkan kehidupan sendiri. Sebelumnya kalian pasti ingat bahwa cerita pendek (cerpen) adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Karakteristik cerpen antara lain panjangnya tidak lebih dari 10.000 kata, alur tunggal dan lurus, serta konflik yang dialami tokoh lebih sederhana daripada novel dan tidak menimbulkan perubahan nasib tokoh.
Para tamu sudah mulai memenuhi ruangan. Sementara Pak Antoni terus melirik jam di tangannya. Wajahnya tampak gelisah. Sesekali matanya menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Beberapa kali dia mengecek handphone-nya. Berharap di layar ada pesan balasan. Namun, yang ditunggunya tak kunjung datang. Robi, anak semata wayangnya, ternyata benar-benar tidak datang seperti yang telah diduganya.
“Pah, semuanya sudah hadir, kenapa tidak dimulai sekarang saja?” bisik Bu Miranda, istri baru Pak Antoni yang baru dinikahi satu bulan lalu.
(“Menunggu”, oleh Elfarizi)
Aya diam tak bergeming. Ia duduk mematung di sudut. Ibu perlahan mendekati.
“Ada apa, Nak? Bertengkar dengan Masmu?” tanya ibu lembut.
Aya tak menjawab. Seketika matanya sembap dan memerah. Ibu lalu memelukanya lembut.
“Mas Pram, Bu. Mas Pram marah-marah terus,” ujar Aya dengan terisak tiba-tiba.
Tidak berapa lama, Mas Pram datang mendekat. Lalu, ia mengulurkan tangannya ke hadapan Aya.
“Ayo, Bun. Jangan menangis depan Ibu,” katanya datar.
“Biar. Kamu jahat, Mas! Sekarang sedikit-sedikit marah!” ujar Aya dengan nada meninggi.
“Sudah sudah. Kalian sudah dewasa. Ayo selesaikan masalah kalian dengan bijak,” tegur ibu kemudian.
(“Konflik”, Elfarizi)
“Hei,” sambar Evi tiba-tiba.
Dianita terkejut dengan wajah tampak sebal.
“Ke mana aja, sih, aku cari baru ketemu?” tanya Evi.
Dianita tetap mematung dengan muka ditekuk.
“Dih, manyun aja. Ada apa, Di?” tanya Evi.
“Tau, ah. Semua orang udah gak peduli lagi sekarang,” kata Dianita ketus.
“Loh, maksudnya?” tanya Evi.
“Semua orang kini mentingin diri sendiri,” kata Dianita melanjutkan.
“Maksudnya apa, sih, Di? Aku datang ke sini nyari kamu terus kamu bilang gak mentingin kamu?” tanya Evi dengan wajah berubah ketus.
“Kamu lupa, kan, ini tanggal berapa, sekarang hari apa? Katanya teman, tapi semua gak ada satu pun yang ingat ulang tahunku!” kata Dianita.
(“Ulang Tahun”, Elfarizi)
Dianita tetap mematung dengan muka ditekuk.
“Dih, manyun aja. Ada apa, Di?” tanya Evi.
“Tau ah. Semua orang udah gak peduli lagi sekarang,” kata Dianita ketus.
“Loh, maksudnya?” tanya Evi.
“Semua orang kini mentingin diri sendiri,” kata Dianita melanjutkan.
“Maksudnya apa sih, Di? Aku datang ke sini nyari kamu terus kamu bilang gak mentingin kamu?” tanya Evi dengan wajah berubah ketus.
“Kamu lupa kan, ini tanggal berapa, sekarang hari apa? Katanya teman, tapi semua gak ada satu pun yang ingat ulang tahunku!” kata Dianita.
“Oh, kamu mau aku ngucapin ulang tahun? Oke, gak begitu juga caranya. Kayak anak kecil,” ketus Evi tambah marah.
Kemudian Evi pun pergi meninggalkan Dianita. Sedangkan Dianita tampak semakin kesal dan hampir menitikan air mata.
“Selamat ulang tahun!!!” seru banyak suara di belakangnya.
Dianita membalikkan badan dan melihat banyak temannya sedang menghampiri dengan membawa balon dan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Evi tampak sumringah sembari menepuk-nepuk tangan. Air mata Dianita pun pecah tak tertahan.
(“Ulang Tahun”, Elfarizi)
Dianita tetap mematung dengan muka ditekuk.
“Dih, manyun aja. Ada apa, Di?” tanya Evi.
“Tau ah. Semua orang udah gak peduli lagi sekarang,” kata Dianita ketus.
“Loh, maksudnya?” tanya Evi.
“Semua orang kini mentingin diri sendiri,” kata Dianita melanjutkan.
“Maksudnya apa sih, Di? Aku datang ke sini nyari kamu terus kamu bilang gak mentingin kamu?” tanya Evi dengan wajah berubah ketus.
“Kamu lupa kan, ini tanggal berapa, sekarang hari apa? Katanya teman, tapi semua gak ada satu pun yang ingat ulang tahunku!” kata Dianita.
“Oh, kamu mau aku ngucapin ulang tahun? Oke, gak begitu juga caranya. Kayak anak kecil,” ketus Evi tambah marah.
Kemudian Evi pun pergi meninggalkan Dianita. Sedangkan Dianita tampak semakin kesal dan hampir menitikan air mata.
“Selamat ulang tahun!!!” seru banyak suara di belakangnya.
Dianita membalikkan badan dan melihat banyak temannya sedang menghampiri dengan membawa balon dan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Evi tampak sumringah sembari menepuk-nepuk tangan. Air mata Dianita pun pecah tak tertahan.
(“Ulang Tahun”, Elfarizi)
Tok tok tok. “Mbah!” seru Warjiman lantang. Bukannya tidak santun, tapi memanggil Mbah Tejo dan Mbah Marti memang harus dengan suara keras. Tapi tak ada juga yang menyahut.
Warjiman sedikit mendorong pintu kayu yang bawahnya sudah hampir habis digerogoti rayap. Kreeek. Terdengar suara pintu mulai terbuka. Kepalanya melongok bagian dalam gubug.
“Astagfirullah!” Warjiman kaget. Ia mendapati Mbah Tejo bersila menghadap seseorang yang tertidur tertutup kain samping. Ia hanya melihat Mbah Tejo memunggunginya.
“Mbah ….,” lirih Warjiman. Tapi tak ada jawab.
Warjiman mencoba masuk dan mendekati. Hingga akhirnya ia mendapati seseorang dengan tubuh tertutupi kain samping telentang di hadapan Mbah Tejo yang duduk bersila tanpa gerak.
“Innaalillaahi,” Warjiman tak bisa berkata-kata. Sambil berdiri dia hanya terkejut melihat Mbah Tejo yang menghadapi jenazah istrinya sendiri.
("Kubur", ElFarizi)
“Aku tidak tahu siapa yang harus disalahkan,” ujar Nanda.
“Sudahlah, aku tidak bermaksud mencari siapa yang perlu disalahkan,” sela Toni.
“Tapi, aku telah melakukan semua pekerjaan tersebut sesusi posisi aku sebagai penanggung jawab acara, di luar itu …,” bela Nanda terpotong.
“Baik, aku akui aku salah. Seharusnya sebagai penanggung jawab keamanan, aku yang harus bertanggung jawab. Tidak perlu menyalahkan Nanda,” tiba-tiba Agus bersuara.
“Sudah! Sekali lagi aku katakan, tidak ada yang perlu menyalahkan dan disalahkan. Kita semua akan bertanggung jawab atas insiden tadi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi. Memalukan dan mencoreng nama sekolah saja!” kata Toni dengan nada keras.
Alur dalam Cerpen
Salah satu unsur pembangun cerpen adalah alur atau plot. Alur adalah rangkaian peristiwa yang saling berkaitan dalam sebuah cerpen. Berdasarkan tahapannya, alur terdiri atas bagian berikut.
- Eksposisi atau pengenalan, yaitu bagian yang menjelaskan tokoh-tokoh, latar, dan pengenalan konflik;
- Konflik, yaitu ketegangan atau masalah yang dihadapi oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen tersebut;
- Komplikasi, yaitu pengembangan konflik yang dialami tokoh menjadi semakin rumit;
- Klimaks, yaitu tahapan puncak dari konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen tersebut;
- Resolusi atau peleraian, yaitu penyelesaian konflik dan pemecahan masalah yang dialami tokoh-tokoh dalam cerpen;
- Penyelesaian, yaitu berakhirnya konflik.
- Eksposisi atau pengenalan, yaitu bagian yang menjelaskan tokoh-tokoh, latar, dan pengenalan konflik;
- Konflik, yaitu ketegangan atau masalah yang dihadapi oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen tersebut;
- Komplikasi, yaitu pengembangan konflik yang dialami tokoh menjadi semakin rumit;
- Klimaks, yaitu tahapan puncak dari konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen tersebut;
- Resolusi atau peleraian, yaitu penyelesaian konflik dan pemecahan masalah yang dialami tokoh-tokoh dalam cerpen;
- Penyelesaian, yaitu berakhirnya konflik.
Pengembangan Konflik dalam Cerpen
Bagian penting dari alur cerpen adalah adanya konflik, yaitu ketegangan atau masalah yang dihadapi oleh tokoh di dalam cerpen. Konflik dapat berupa konflik fisik atau konflik batin. Konflik fisik adalah masalah yang dihadapi oleh tokoh secara fisik, sedangkan konflik batin adalah masalah-masalah psikologis yang dihadapi oleh tokoh. Konflik yang dialami tokoh dapat terjadi dengan tokoh lain atau dirinya sendiri.
Konflik yang dibangun dalam cerpen lebih sederhana daripada novel. Di dalam cerpen, konflik yang terjadi tidak mengakibatkan perubahan nasib pada tokohnya. Meskipun demikian, konflik yang terjadi dalam cerpen tetap harus dikembangkan agar menjadi sebuah cerita yang utuh. Cerita yang utuh dalam cerpen terdiri atas konflik, pengembangan konflik (komplikasi), puncak konflik (klimaks), dan penyelesaiannya (resolusi).
Pengembangan konflik dalam cerpen dapat dilakukan dengan tiga teknik pengaluran, yaitu sebagai berikut.
1. Alur maju (progresif), yaitu rangkaian peristiwa dalam cerpen yang terjadi sesuai urutan waktu;
2. Alur mundur (flashback), yaitu rangkaian peristiwa dalam cerpen yang diceritakan dengan mengurai masa lalu yang titik pijaknya adalah masa sekarang.
3. Alur campuran, yaitu menggabungkan teknik penceritaan alur maju dan alur mundur secara bersamaan.
1. Alur maju (progresif), yaitu rangkaian peristiwa dalam cerpen yang terjadi sesuai urutan waktu;
2. Alur mundur (flashback), yaitu rangkaian peristiwa dalam cerpen yang diceritakan dengan mengurai masa lalu yang titik pijaknya adalah masa sekarang.
3. Alur campuran, yaitu menggabungkan teknik penceritaan alur maju dan alur mundur secara bersamaan.
Berikut langkah-langkah mengembangkan konflik dalam cerpen.
1. Tentukan tema yang menjadi dasar cerpen.
2. Susun sebuah kerangka cerpen yang berisi latar, tokoh, watak tokoh, dan peristiwa yang dialami tokoh-tokoh tersebut.
3. Kembangkan peristiwa yang dialami tokoh dengan beberapa teknik pengaluran atau penceritaan, yaitu alur maju (progresif), alur mundur (flashback), atau alur campuran.
1. Tentukan tema yang menjadi dasar cerpen.
2. Susun sebuah kerangka cerpen yang berisi latar, tokoh, watak tokoh, dan peristiwa yang dialami tokoh-tokoh tersebut.
3. Kembangkan peristiwa yang dialami tokoh dengan beberapa teknik pengaluran atau penceritaan, yaitu alur maju (progresif), alur mundur (flashback), atau alur campuran.
S1
Perhatikan penggalan cerpen berikut ini!
Para tamu sudah mulai memenuhi ruangan. Sementara Pak Antoni terus melirik jam di tangannya. Wajahnya tampak gelisah. Sesekali matanya menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Beberapa kali dia mengecek handphone-nya. Berharap di layar ada pesan balasan. Namun, yang ditunggunya tak kunjung datang. Robi, anak semata wayangnya, ternyata benar-benar tidak datang seperti yang telah diduganya.
“Pah, semuanya sudah hadir, kenapa tidak dimulai sekarang saja?” bisik Bu Miranda, istri baru Pak Antoni yang baru dinikahi satu bulan lalu.
(“Menunggu”, oleh Elfarizi)
Konflik dalam cerpen tersebut adalah ….
S2
Badrudin diam memaku di sudut jalan. Dipegangnya amplop di tangannya dengan erat. Dia terus memandangi amplop dengan wajah penuh kebingungan. Terbayang-bayang dalam benaknya, Sutinah menunggu di ujung pintu dengan tatapan tajam. Istrinya yang telah dinikahi dua puluh tahun lalu itu pasti berharap Badrudin dengan amplop yang berisi tebal. Padahal, amplop yang berisi upah pemberian Haji Diman itu sangat jauh panggang dari api. Semua akibat bulan lalu, Badrudin berutang taruhan judi pada Samin.
(“Amplop”, Elfarizi)
(“Amplop”, Elfarizi)
Dalam kutipan tersebut, konflik terjadi antara ….
S3
Perhatikan kutipan cerpen berikut ini!
Aya diam tak bergeming. Ia duduk mematung di sudut. Ibu perlahan mendekati.
“Ada apa, Nak? Bertengkar dengan Masmu?” tanya ibu lembut.
Aya tak menjawab. Seketika matanya sembap dan memerah. Ibu lalu memelukanya lembut.
“Mas Pram, Bu. Mas Pram marah-marah terus,” ujar Aya dengan terisak tiba-tiba.
Tidak berapa lama, Mas Pram datang mendekat. Lalu, ia mengulurkan tangannya ke hadapan Aya.
“Ayo, Bun. Jangan menangis depan Ibu,” katanya datar.
“Biar. Kamu jahat, Mas! Sekarang sedikit-sedikit marah!” ujar Aya dengan nada meninggi.
“Sudah sudah. Kalian sudah dewasa. Ayo selesaikan masalah kalian dengan bijak,” tegur ibu kemudian.
(“Konflik”, Elfarizi)
Pemicu konflik pada kutipan cerpen di atas adalah ….
S4
Perhatikan kutipan cerpen berikut!
“Hei,” sambar Evi tiba-tiba.
Dianita terkejut dengan wajah tampak sebal.
“Ke mana aja, sih, aku cari baru ketemu?” tanya Evi.
Dianita tetap mematung dengan muka ditekuk.
“Dih, manyun aja. Ada apa, Di?” tanya Evi.
“Tau, ah. Semua orang udah gak peduli lagi sekarang,” kata Dianita ketus.
“Loh, maksudnya?” tanya Evi.
“Semua orang kini mentingin diri sendiri,” kata Dianita melanjutkan.
“Maksudnya apa, sih, Di? Aku datang ke sini nyari kamu terus kamu bilang gak mentingin kamu?” tanya Evi dengan wajah berubah ketus.
“Kamu lupa, kan, ini tanggal berapa, sekarang hari apa? Katanya teman, tapi semua gak ada satu pun yang ingat ulang tahunku!” kata Dianita.
(“Ulang Tahun”, Elfarizi)
Konflik pada kutipan cerpen di atas adalah …..
S5
Sudah beberapa hari, Mak tidak mau makan. Badannya semakin kering. Bahkan untuk duduk saja, tubuhnya mulai rapuh tak bertenaga. Perlahan, aku bujuk Mak untuk mau barang sesuap mengunyah bubur yang kusiapkan. Tapi, Mak hanya memalingkan muka. Dari sorot matanya ada kerinduan yang dalam pada Ning. Mungkin, dalam hatinya, Mak sangat ingin marah padaku yang tidak bisa menjaga Ning.
(“Ningku”, Elfarizi)
(“Ningku”, Elfarizi)
Konflik pada kutipan cerpen di atas adalah ….
S6
Perhatikan kutipan cerpen di bawah ini!
Dianita tetap mematung dengan muka ditekuk.
“Dih, manyun aja. Ada apa, Di?” tanya Evi.
“Tau ah. Semua orang udah gak peduli lagi sekarang,” kata Dianita ketus.
“Loh, maksudnya?” tanya Evi.
“Semua orang kini mentingin diri sendiri,” kata Dianita melanjutkan.
“Maksudnya apa sih, Di? Aku datang ke sini nyari kamu terus kamu bilang gak mentingin kamu?” tanya Evi dengan wajah berubah ketus.
“Kamu lupa kan, ini tanggal berapa, sekarang hari apa? Katanya teman, tapi semua gak ada satu pun yang ingat ulang tahunku!” kata Dianita.
“Oh, kamu mau aku ngucapin ulang tahun? Oke, gak begitu juga caranya. Kayak anak kecil,” ketus Evi tambah marah.
Kemudian Evi pun pergi meninggalkan Dianita. Sedangkan Dianita tampak semakin kesal dan hampir menitikan air mata.
“Selamat ulang tahun!!!” seru banyak suara di belakangnya.
Dianita membalikkan badan dan melihat banyak temannya sedang menghampiri dengan membawa balon dan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Evi tampak sumringah sembari menepuk-nepuk tangan. Air mata Dianita pun pecah tak tertahan.
(“Ulang Tahun”, Elfarizi)
Klimaks pada kutipan cerpen di atas adalah ….
S7
Perhatikan kutipan cerpen di bawah ini!
Dianita tetap mematung dengan muka ditekuk.
“Dih, manyun aja. Ada apa, Di?” tanya Evi.
“Tau ah. Semua orang udah gak peduli lagi sekarang,” kata Dianita ketus.
“Loh, maksudnya?” tanya Evi.
“Semua orang kini mentingin diri sendiri,” kata Dianita melanjutkan.
“Maksudnya apa sih, Di? Aku datang ke sini nyari kamu terus kamu bilang gak mentingin kamu?” tanya Evi dengan wajah berubah ketus.
“Kamu lupa kan, ini tanggal berapa, sekarang hari apa? Katanya teman, tapi semua gak ada satu pun yang ingat ulang tahunku!” kata Dianita.
“Oh, kamu mau aku ngucapin ulang tahun? Oke, gak begitu juga caranya. Kayak anak kecil,” ketus Evi tambah marah.
Kemudian Evi pun pergi meninggalkan Dianita. Sedangkan Dianita tampak semakin kesal dan hampir menitikan air mata.
“Selamat ulang tahun!!!” seru banyak suara di belakangnya.
Dianita membalikkan badan dan melihat banyak temannya sedang menghampiri dengan membawa balon dan kue ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Evi tampak sumringah sembari menepuk-nepuk tangan. Air mata Dianita pun pecah tak tertahan.
(“Ulang Tahun”, Elfarizi)
Resolusi pada kutipan cerpen di atas adalah ….
S8
Perhatikan kutipan cerpen berikut!
(1) Doni terus berusaha menelepon Agung. Tapi di seberang sana, Agung tak kunjung mengangkat teleponnya. Berkali-kali dicoba tetap sama. Pesan pun tak dibalas sama sekali. Doni menahan kesal sambil terus menguasai diri. Dia hanya berniat menyelesaikan masalah, tapi Agung tak juga menunjukkan itikad baik.
(1) Doni terus berusaha menelepon Agung. Tapi di seberang sana, Agung tak kunjung mengangkat teleponnya. Berkali-kali dicoba tetap sama. Pesan pun tak dibalas sama sekali. Doni menahan kesal sambil terus menguasai diri. Dia hanya berniat menyelesaikan masalah, tapi Agung tak juga menunjukkan itikad baik.
(2) Juni sudah berakhir. Tapi, harapan Linda belum juga terwujud. Dulu, bapak selalu bilang bahwa Juni adalah bulan yang indah untuk melihat Linda bergaun pengantin. Sayang, Bapak sudah tiada. Linda pun merasa tak ada lagi yang membuatnya mencintai Juni. Kini, hidup tetap berjalan seperti biasa. Pencarian pun bertahan sepanjang masa.
(3) Ayah menggedor-gedor pintu dengan keras.
“Gista! Gista!” teriak ayah dari balik kamar.
Gista tak menyahut sama sekali. Dia malah berusaha membuka teralis jendelanya. Sementara ayah terus menggedor disertai suara tangis ibu yang samar-samar.
“Gista! Gista!” teriak ayah dari balik kamar.
Gista tak menyahut sama sekali. Dia malah berusaha membuka teralis jendelanya. Sementara ayah terus menggedor disertai suara tangis ibu yang samar-samar.
(4) Sudah sekian malam, tidurku selalu gelisah. Sulit rasanya memejamkan mata walau barang sejenak. Pikiran selalu melayang-layang bak terbang di angkasa raya. Mencari tahu jawaban pasti. Menebak-nebak, akankah Hayati menerima pinanganku nanti?
(5) Kulemparkan fotonya jauh-jauh. Tak mau lagi aku melihatnya. Semua tentangnya aku singkirkan. Semua harus kukubur dalam-dalam. Benar kata pujangga, obat patah hati adalah hati yang baru. Maka, aku tak mau berlarut-larut dalam rasa harap yang tak berujung ini. Aku harus kuat menghadapi hari esok yang lebih baik.
Kutipan cerpen yang menunjukkan konflik fisik terdapat pada paragraf ….
S9
Perhatikan kutipan cerpen berikut ini!
Tok tok tok. “Mbah!” seru Warjiman lantang. Bukannya tidak santun, tapi memanggil Mbah Tejo dan Mbah Marti memang harus dengan suara keras. Tapi tak ada juga yang menyahut.
Warjiman sedikit mendorong pintu kayu yang bawahnya sudah hampir habis digerogoti rayap. Kreeek. Terdengar suara pintu mulai terbuka. Kepalanya melongok bagian dalam gubug.
“Astagfirullah!” Warjiman kaget. Ia mendapati Mbah Tejo bersila menghadap seseorang yang tertidur tertutup kain samping. Ia hanya melihat Mbah Tejo memunggunginya.
“Mbah ….,” lirih Warjiman. Tapi tak ada jawab.
Warjiman mencoba masuk dan mendekati. Hingga akhirnya ia mendapati seseorang dengan tubuh tertutupi kain samping telentang di hadapan Mbah Tejo yang duduk bersila tanpa gerak.
“Innaalillaahi,” Warjiman tak bisa berkata-kata. Sambil berdiri dia hanya terkejut melihat Mbah Tejo yang menghadapi jenazah istrinya sendiri.
("Kubur", ElFarizi)
Pemicu konflik pada kutipan cerpen di atas adalah ….
S10
Perhatikan kutipan cerpen di bawah ini!
“Aku tidak tahu siapa yang harus disalahkan,” ujar Nanda.
“Sudahlah, aku tidak bermaksud mencari siapa yang perlu disalahkan,” sela Toni.
“Tapi, aku telah melakukan semua pekerjaan tersebut sesusi posisi aku sebagai penanggung jawab acara, di luar itu …,” bela Nanda terpotong.
“Baik, aku akui aku salah. Seharusnya sebagai penanggung jawab keamanan, aku yang harus bertanggung jawab. Tidak perlu menyalahkan Nanda,” tiba-tiba Agus bersuara.
“Sudah! Sekali lagi aku katakan, tidak ada yang perlu menyalahkan dan disalahkan. Kita semua akan bertanggung jawab atas insiden tadi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi. Memalukan dan mencoreng nama sekolah saja!” kata Toni dengan nada keras.
Resolusi pada kutipan cerpen di atas adalah ….