Contoh Soal Interpretasi Makna Penggalan Novel
Contoh Soal Interpretasi Makna Penggalan Novel - Kita sudah tahu bahwa bangunan utama novel adalah bahasa. Sementara itu, tahukah kalian bahwa bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi? Ya, bahasa merupakan tanda dari suatu konteks kalimat. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila novel juga disebut sebagai simbol dari suatu cerita. Untuk memahami makna novel sebagai suatu simbol, kita harus melakukan penafsiran teks. Jadi, mari kita pelajari bersama bagaimana cara menfsirkan teks novel.
Penafsiran Teks pada Novel Indonesia
Bahasa adalah unsur utama yang membangun sebuah novel. Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa sebagai sistem lambang bunyi berarti bahwa bahasa merupakan tanda atau simbol dari suatu konteks.
Dalam novel, bahasa berfungsi sebagai suatu simbol atau tanda dari cerita yang dinarasikan. Untuk memahami simbol-simbol atau tanda-tanda yang ada di dalam novel, harus ada proses pemaknaan terhadap simbol atau tanda tersebut. Hal tersebut dikarenakan simbol atau tanda tidak dapat dipahami secara langsung. Ada makna tersembunyi yang harus dipahami untuk mencari tahu isi dan makna novel.
Simbol atau tanda dalam novel biasanya mengandung kosakata konotatif, yang bisa berupa: (a) idiom/ungkapan; (b) majas; (c) peribahasa; dan sebagainya. Rangkaian kalimat yang mengandung kosakata konotatif tersebut disusun menjadi jalinan cerita dan mampu membentuk pemaknaan tersendiri bagi pembacanya. Pemaknaan seseorang pada sebuah novel bisa saja berbeda dengan orang lain. Hal itu bisa diakibatkan oleh perbedaan latar belakang pembaca maupun faktor kemampuan pembaca dalam memahami bahasa pada novel tersebut.
Cara atau upaya untuk menjelaskan makna teks yang kurang jelas disebut sebagai penafsiran teks. Penafsiran teks seringkali juga disebut pemaknaan teks. Meskipun pemaknaan teks antara satu orang dengan orang lainnya bisa saja berlainan (seperti yang sudah dijelaskan di atas), tetapi ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman untuk memahami teks yang sebenarnya. Misalnya, dengan cara mengetahui: (a) latar belakang pengarang; (b) latar belakang penulisan novel; (c) memahami konteks dan situasi dalam cerita; serta (d) memahami makna kiasan. Latar belakang pengarang dan penulisan novel hanya bisa diketahui melalui informasi di luar teks (lihat lagi bab sebelumnya, mengenai unsur-unsur ekstrinsik karya sastra).
SOAL 1
“Berikan pistol itu ke sini!” perintahnya.
Hazil mundur selangkah.
“Jangan, Ayah! Kita perlu senjata untuk perjuangan kemerdekaan.”
“Kemerdekaan? Nah!” sumpah Mr. Kamaruddin. “Kamu anak-anak muda sudah gila. Apa engkau pikir kamu bisa menang berperang melawan Belanda? Berontak-berontak seperti orang gila!”
Mr. Kamaruddin menggerakkan tangannya hendak menyentakkan pistol itu dari tangan anaknya. Tapi Hazil cepat berbalik, berlari, dan ketika dia tiba di pintu pagar rumah, dan melihat ke kiri ke kanan memeriksa jalan yang kosong, teriak ayahnya mengejarnya, “Haziiillll! Kembaliii!”
Dalam teriak itu tersembunyi perasaan yang lebih besar dari kemarahan. Perasaan kesayangan seorang ayah pada anak, dan rasa takut mengetahui anak pergi menemui bahaya maut. Dalam teriak itu juga tersembunyi rasa takut Mr. Kamaruddin sendiri. Rasa takut yang dipendamkannya jauh-jauh di dalam hatinya. Takut melihat perubahan-perubahan masa, dan perubahan-perubahan pada diri anaknya sendiri. Perubahan-perubahan yang tidak dapat dia mengerti. Dia tidak mengerti mengapa orang tidak hendak menerima perintah Belanda kembali. Jika Belanda kembali, semuanya akan beres. Dia sendiri akan mendapat pensiunnya kembali, dan kemungkinan dipekerjakan, karena dia tahu banyak kekurangan tenaga dalam pemerintahan. Dan kesenangan dan kehormatan yang dahulu akan kembali lagi. Berapa kali dia membicarakan ini dengan kawan-kawannya yang seumur dengan dia, dan mereka semua setuju dengan pikirannya.
(Dikutip dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, hlm. 20-21
Cetakan ke-7, Juni 2010; Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia)
Hazil mundur selangkah.
“Jangan, Ayah! Kita perlu senjata untuk perjuangan kemerdekaan.”
“Kemerdekaan? Nah!” sumpah Mr. Kamaruddin. “Kamu anak-anak muda sudah gila. Apa engkau pikir kamu bisa menang berperang melawan Belanda? Berontak-berontak seperti orang gila!”
Mr. Kamaruddin menggerakkan tangannya hendak menyentakkan pistol itu dari tangan anaknya. Tapi Hazil cepat berbalik, berlari, dan ketika dia tiba di pintu pagar rumah, dan melihat ke kiri ke kanan memeriksa jalan yang kosong, teriak ayahnya mengejarnya, “Haziiillll! Kembaliii!”
Dalam teriak itu tersembunyi perasaan yang lebih besar dari kemarahan. Perasaan kesayangan seorang ayah pada anak, dan rasa takut mengetahui anak pergi menemui bahaya maut. Dalam teriak itu juga tersembunyi rasa takut Mr. Kamaruddin sendiri. Rasa takut yang dipendamkannya jauh-jauh di dalam hatinya. Takut melihat perubahan-perubahan masa, dan perubahan-perubahan pada diri anaknya sendiri. Perubahan-perubahan yang tidak dapat dia mengerti. Dia tidak mengerti mengapa orang tidak hendak menerima perintah Belanda kembali. Jika Belanda kembali, semuanya akan beres. Dia sendiri akan mendapat pensiunnya kembali, dan kemungkinan dipekerjakan, karena dia tahu banyak kekurangan tenaga dalam pemerintahan. Dan kesenangan dan kehormatan yang dahulu akan kembali lagi. Berapa kali dia membicarakan ini dengan kawan-kawannya yang seumur dengan dia, dan mereka semua setuju dengan pikirannya.
(Dikutip dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, hlm. 20-21
Cetakan ke-7, Juni 2010; Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia)
Makna yang terkandung pada potongan teks novel di atas adalah ….
SOAL 2
Suasana hati Arif seperti seorang prajurit yang pertama kali menembak musuh. Dia pasti akan merasa bersalah, bahkan mungkin akan terganggu jiwanya kalau terlalu mendalami rasa bersalah itu. “Itu hal yang lumrah, nanti juga terbiasa!” kata seorang pengacara yang sudah mengantongi jam terbang tinggi.
“Sialan, apa hanya seperti itu?” umpat hati Arif. Apakah suatu penipuan perlu dilakukan terus menerus sehingga penipuan dapat dibenarkan? Tidak mungkin! Arif terus bertarung dengan pikiran dan hatinya sampai dering telepon mengagetkannya. Dia langsung sadar bahwa dia diawasi di kejauhan sana oleh Imam.
(Dikutip dari novel Balada Dara-Dara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, hlm. 116
Cetakan pertama, 1993; Yogyakarta: Kanisius)
“Sialan, apa hanya seperti itu?” umpat hati Arif. Apakah suatu penipuan perlu dilakukan terus menerus sehingga penipuan dapat dibenarkan? Tidak mungkin! Arif terus bertarung dengan pikiran dan hatinya sampai dering telepon mengagetkannya. Dia langsung sadar bahwa dia diawasi di kejauhan sana oleh Imam.
(Dikutip dari novel Balada Dara-Dara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, hlm. 116
Cetakan pertama, 1993; Yogyakarta: Kanisius)
Permasalahan batin yang dialami tokoh Arif pada potongan cerita di atas adalah ….
SOAL 3
“Kita bawa ke mana mayat ini?” tanya Badrun sambil memandang ke arah Budiyono. Wajah anggota KNIL itu tampak kemerah-merahan. Dia memandang ke arah bintang-bintang di langit. Tapi pandangannya itu tampak tidak berkepastian. Dia hanya melindungi kedua matanya yang telah dilembapi air mata. Bila wajah itu tertunduk, jatuhlah beberapa tetes air mata. Bagaimana air matanya tidak mengucur, kalau mayat yang ada di hadapannya adalah seorang sahabat yang semasa anak-anak sering mandi bersama di atas bukit mencari burung gelatik atau memanjat pohon mencari sarang burung pipit.
(Dikutip dari novel Merah Putih di Langit Sanga-Sanga karya Djumri Obeng, hlm. 26
Cetakan pertama, Desember 1995; Jakarta: Pusoa Swara)
(Dikutip dari novel Merah Putih di Langit Sanga-Sanga karya Djumri Obeng, hlm. 26
Cetakan pertama, Desember 1995; Jakarta: Pusoa Swara)
Penokohan Badrun pada kutipan novel di atas adalah ….
SOAL 4
Penjara sebenarnya bukan tempat yang mengerikan lagi. Bahkan, sudah dimitoskan sebagai tempat peristirahatan wartawan maupun mahasiswa. Karena itu, seorang mahasiswa yang merangkap sebagai wartawan, sangat patut sekali waktu dimasukkan ke dalamnya. Kisah-kisah masa lampau wartawan tua, telah menumbuhkan sikap semacam itu dalam diri Budiman. Dia pernah membuat poster dan pamflet yang memusuhi Bung Karno. Tapi, riwayat tokoh tua itu selamanya dia kagumi. Seorang pejuang yang siap masuk penjara untuk suatu prinsip.
Dan sekarang dia berada di Blok D penjara Wirogunan. Mahasiswa-mahasiswa yang ditahan itu ternyata sudah berada di sini. Tempat ini sama sekali tak disangka Budiman dijadikan tempat penahanan mahasiswa. Penjara ini dibuat pemerintah kolonial Belanda puluhan tahun yang lalu. Jadi, bisalah dibayangkan bentunya. Jika pemerintah kolonial membuat penjara, tentulah dengan niat menyekap manusia di dalamnya. Dan, sekarang, pemerintah Orde Baru memasukkan mahasiswa-mahasiswa yang melakukan kegiatan antikorupsi ke dalam penjara itu.
(Dikutip dari novel Jentera Lepas karya Ashadi Siregar, hlm. 127
Cetakan pertama, Oktober 1994; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya)
Dan sekarang dia berada di Blok D penjara Wirogunan. Mahasiswa-mahasiswa yang ditahan itu ternyata sudah berada di sini. Tempat ini sama sekali tak disangka Budiman dijadikan tempat penahanan mahasiswa. Penjara ini dibuat pemerintah kolonial Belanda puluhan tahun yang lalu. Jadi, bisalah dibayangkan bentunya. Jika pemerintah kolonial membuat penjara, tentulah dengan niat menyekap manusia di dalamnya. Dan, sekarang, pemerintah Orde Baru memasukkan mahasiswa-mahasiswa yang melakukan kegiatan antikorupsi ke dalam penjara itu.
(Dikutip dari novel Jentera Lepas karya Ashadi Siregar, hlm. 127
Cetakan pertama, Oktober 1994; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya)
Latar belakang penulisan novel yang bisa dilihat dari penggalan teks di atas adalah ….
Latar belakang penulisan novel yang bisa dilihat dari penggalan teks di atas adalah ….
SOAL 5
“Kau tahu apa, Reno!” bentak Ongga tidak dapat menahan kemarahannya. “Kalau rumah gadangmu diambil orang, surau kaummu dicuri pendatang, tanah pusaka dikapling-kapling makelar tanah, apa kau diam saja? Tidak, bukan? Surauku di Batang Karan ini, suraumu di kampungmu di sana. Semua itu adalah kebanggan kita masing-masing.”
Apa yang dicemaskan Ongga ternyata benar. Dua puluh dua hari kemudian, Teme datang menemui Ongga. Teme mengatakan bahwa dia telah menandatangani surat penyerahan tanah surau itu kepada pengurus sebagai tanah wakaf. Penandatanganan itu dilakukan bersama-sama di kantor kelurahan, dihadiri oleh beberapa orang polisi dan tentara.
“Daripada kita berurusan dengan pemerintah, lebih baik kita menyerah,” kata Teme ringan.
“Teme,” kata Ongga dengan suara serak. “Teme ‘kan tahu surau itu adalah surau kaum kita. Tempat semua anak laki-laki kaum kita tidur, belajar, dan bermain. Tempat bagi laki-laki kaum kita yang telah tua-bangka. Tempat bagi saudara-saudara kita bila mereka tidak pulang lagi ke rumah istrinya. Kita hidup berumah tangga tidak selamanya berjalan baik. Jika terjadi goncangan dan salah seorang dari kita harus pergi dari rumah istrinya, ke mana dia akan menetap? Ke Surau Batu, bukan? Tapi, bila Surau Batu beserta tanahnya sudah kita serahkan kepada pengurus yang sekarang, kemudian Surau Batu akan berubah menjadi mesjid, kita tidak boleh lagi tinggal di sana. Surau itu adalah kubu, daerah pertahanan terakhir bagi laki-laki dalam suatu kaum.”
(Dikutip dari novel Tamu karya Wisran Hadi, hlm. 108-109
Cetakan pertama, 1996; Jakarta: Pustaka Utama Grafiti)
Apa yang dicemaskan Ongga ternyata benar. Dua puluh dua hari kemudian, Teme datang menemui Ongga. Teme mengatakan bahwa dia telah menandatangani surat penyerahan tanah surau itu kepada pengurus sebagai tanah wakaf. Penandatanganan itu dilakukan bersama-sama di kantor kelurahan, dihadiri oleh beberapa orang polisi dan tentara.
“Daripada kita berurusan dengan pemerintah, lebih baik kita menyerah,” kata Teme ringan.
“Teme,” kata Ongga dengan suara serak. “Teme ‘kan tahu surau itu adalah surau kaum kita. Tempat semua anak laki-laki kaum kita tidur, belajar, dan bermain. Tempat bagi laki-laki kaum kita yang telah tua-bangka. Tempat bagi saudara-saudara kita bila mereka tidak pulang lagi ke rumah istrinya. Kita hidup berumah tangga tidak selamanya berjalan baik. Jika terjadi goncangan dan salah seorang dari kita harus pergi dari rumah istrinya, ke mana dia akan menetap? Ke Surau Batu, bukan? Tapi, bila Surau Batu beserta tanahnya sudah kita serahkan kepada pengurus yang sekarang, kemudian Surau Batu akan berubah menjadi mesjid, kita tidak boleh lagi tinggal di sana. Surau itu adalah kubu, daerah pertahanan terakhir bagi laki-laki dalam suatu kaum.”
(Dikutip dari novel Tamu karya Wisran Hadi, hlm. 108-109
Cetakan pertama, 1996; Jakarta: Pustaka Utama Grafiti)
Konflik yang terlihat pada kutipan novel di atas adalah ….
SOAL 6
Aku malu membandingkan diriku dengan para penari ballet. Mereka bergerak dan melayang seperti impian sedangkan aku teronggok seperti barang. Bernapas tapi tidak mempunyai kehendak, barangkali masih mempunyai naluri, meski tanpa kemampuan menerjemahkannya dalam gerakan. Namun, ibuku sangat sering memandang fotoku lama-lama, mekipun sedang memangku diriku di ruang kerjanya. Bukankah fungsi foto antara lain menjadi pengganti orang yang ada dalam foto itu? Jika aku di pangkuannya dan masih juga memandangi aku dalam foto, maka apakah maknanya aku bagi ibuku?
Seperti Mbak Wid, aku juga merasa ibuku berlebihan. Aku bukan anak kandungnya. Aku hanya salah satu pasien-pasien—pasien yang tidak mungkin disembuhkan.
Para penari ballet melayang dan bercinta dalam semesta tari. Sebuah dunia yang indah, namun yang bagi ibuku berarti malapetaka. Itukah sebabnya ibuku mengasingkan diri ke pinggiran kota ini? Ibuku meninggalkan dunianya yang gemerlapan di Jakarta, menenggelamkan diri dalam perawatan bayi-bayi tunadaksa. Benarkah ibuku tidak pernah merindukan dunianya yang dulu? Tanpa peristiwa yang meninggalkan luka itu, dunia ballet adalah dunia yang bisa membuat ibuku mengubah diri dari kepompong menjadi kupu-kupu dan bisa berkata, “Inilah aku!” Tapi sekarang ibuku di sini, bersama aku, seperti kupu-kupu yang bermetamorfosa terbalik menjadi kepompong, sia-sia mencoba memahamiku.
(Dikutip dari novel Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma, hlm. 81
Cetakan ke-2. Maret 2004; Jakarta: PT AKUR)
Seperti Mbak Wid, aku juga merasa ibuku berlebihan. Aku bukan anak kandungnya. Aku hanya salah satu pasien-pasien—pasien yang tidak mungkin disembuhkan.
Para penari ballet melayang dan bercinta dalam semesta tari. Sebuah dunia yang indah, namun yang bagi ibuku berarti malapetaka. Itukah sebabnya ibuku mengasingkan diri ke pinggiran kota ini? Ibuku meninggalkan dunianya yang gemerlapan di Jakarta, menenggelamkan diri dalam perawatan bayi-bayi tunadaksa. Benarkah ibuku tidak pernah merindukan dunianya yang dulu? Tanpa peristiwa yang meninggalkan luka itu, dunia ballet adalah dunia yang bisa membuat ibuku mengubah diri dari kepompong menjadi kupu-kupu dan bisa berkata, “Inilah aku!” Tapi sekarang ibuku di sini, bersama aku, seperti kupu-kupu yang bermetamorfosa terbalik menjadi kepompong, sia-sia mencoba memahamiku.
(Dikutip dari novel Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma, hlm. 81
Cetakan ke-2. Maret 2004; Jakarta: PT AKUR)
Alasan pengarang menyatakan tokoh Ibu mengalami metamorfosis terbalik adalah ....
SOAL 7
“Upacara itu sebetulnya hanya cara. Yang lebih penting adalah isinya. Kalau sudah betul isinya, bagaimanapun caranya, itu bisa disesuaikan dengan desa-kala-patra. Kita ini berhubungan dengan Sang Maha Tahu, Beliau di sana pasti mengerti sebelum kita haturkan, mengapa upacaranya sederhana. Maksud yang luhur tidak akan rusak hanya karena upacaranya hemat. Buat apa 40 hari menginapkan jenazah di rumah, itu kan biayanya tidak sedikit. Langsung saja diselesaikan kenapa ditunda-tunda lagi.”
Putri tak bisa menahan dirinya. Sekarang semakin jelas, semuanya sudah terkesima oleh pembangunan hotel. Tiba-tba saja pundaknya menjadi penuh. Kalau itu target sendiri, tidak akan apa-apa. Memikul orang banyak sama saja dengan bunuh diri.
“Tidak, bukan begitu, Beli. Saya membatalkan rencana saya.”
Kepala Adat desa terkejut.
“Membatalkan bagaimana? Luh tidak jadi membuat hotel di sini?”
“Maaf, begini Bapa. Saya membatalkan untuk menyelenggarakan upacara secara sederhana, saya akan mengikuti apa yang dikehendaki oleh Bapa dan krama desa, sesuai dengan adat. Saya akan menyelenggarakan upacara ini sebagai upakara utama. Terserahlah berapa biayanya. Bagaimana menutupnya itu soal nanti saja.”
“Tetapi itu memang sidah kewajiban kami.”
“Benar. Tetapi karena saya sudah berniat menyelenggarakan sesuai keinginan saya dan itu bertentangan dengan adat, saya kira itu lalu bukan menjadi tanggung jawab adat lagi. Saya mengerti itu. Karena itu saya ingin mengembalikan semuanya kepada adat. Saya akan mengikuti apa yang ditentukan oleh adat.”
(Dikutip dari novel Putri karya Putu Wijaya, hlm. 91-92
Cetakan pertama, Sepetember 2004; Jakarta: Pustaka Utama Grafiti)
Putri tak bisa menahan dirinya. Sekarang semakin jelas, semuanya sudah terkesima oleh pembangunan hotel. Tiba-tba saja pundaknya menjadi penuh. Kalau itu target sendiri, tidak akan apa-apa. Memikul orang banyak sama saja dengan bunuh diri.
“Tidak, bukan begitu, Beli. Saya membatalkan rencana saya.”
Kepala Adat desa terkejut.
“Membatalkan bagaimana? Luh tidak jadi membuat hotel di sini?”
“Maaf, begini Bapa. Saya membatalkan untuk menyelenggarakan upacara secara sederhana, saya akan mengikuti apa yang dikehendaki oleh Bapa dan krama desa, sesuai dengan adat. Saya akan menyelenggarakan upacara ini sebagai upakara utama. Terserahlah berapa biayanya. Bagaimana menutupnya itu soal nanti saja.”
“Tetapi itu memang sidah kewajiban kami.”
“Benar. Tetapi karena saya sudah berniat menyelenggarakan sesuai keinginan saya dan itu bertentangan dengan adat, saya kira itu lalu bukan menjadi tanggung jawab adat lagi. Saya mengerti itu. Karena itu saya ingin mengembalikan semuanya kepada adat. Saya akan mengikuti apa yang ditentukan oleh adat.”
(Dikutip dari novel Putri karya Putu Wijaya, hlm. 91-92
Cetakan pertama, Sepetember 2004; Jakarta: Pustaka Utama Grafiti)
Suasana yang tergambar pada potongan teks novel di atas adalah ….
SOAL 8
Bisik-Bisik dari warung pindah ke gardu ronda, dari gardu ronda memasuki sejumlah rumah dan pagi-pagi bakul sayur akan menyebarkannya persis seperti angin meniup pohon randu untuk menerbangkan kapasnya, ke utara dan selatan, sesuai keinginan. Pada suatu pagi, was wis wus itu pun sampai ke telinga ibu dengan bumbu lebih pedas dari cerita aslinya. Dengan teknik—tetapi kata dia lho—cerita-cerita itu, tanpa disaring dan dicerna dengan saksama, ibu menelannya tandas yang menimbulkan rasa kejang dan amarah tak terkendali. Diseretnya aku ke kamar untuk diinterogasi.
Dikutip dari novel Perempuan Berkalung Sorban karya , Abidah El Khalieqy, hlm.189
Cetakan pertama, Maret 2001; Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat)
Dikutip dari novel Perempuan Berkalung Sorban karya , Abidah El Khalieqy, hlm.189
Cetakan pertama, Maret 2001; Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat)
Perwatakan Ibu pada penggalan novel di atas adalah ….
SOAL 9
“Manusia makin nggak kayak manusia, Bod. Orang miskin ngerampok televisi, ngerampok HP—barang-barang yang nggak mereka butuhkan. Lo tahu kenapa? Karena itulah syarat untuk jadi manusia zaman sekarang ini. Itu juga yang dikejar-kejar orang kelas menengah biar naik pangkat jadi kelas atas. Dan, kemewahan itulah yang dipertahankan orang kelas atas. Kagak peduli kalau perlu sampai ngisap darah manusia lain. Kapitalisme itu kanibalisme.”
Terkadang, kau temukan mutiara dalam lumpur ketika melihat seorang Bong berkata dengan suara bergetar. “Gue ngeri, Bodhi.” Tubuh itu bergidik, meringkuk cemas sambil menatap langit seperti melihat setan di setiap molekul udara, kemudian menatapku, “Jauh-jauh orang ngomong soal neraka, Bod. Bukannya kita sekarang lagi terbakar hidup-hidup di sana?”
“Bernapas, Bong. Bernapas saja.” Aku mengajaknya untuk memejamkan mata, mengembungkan diafragma, mengisap, dan mengembuskan udara perlahan.
(Dikutip dari novel Akar karya Dewi Lestari, hlm. 33
Cetakan pertama, Maret 2012; Yogyakarta: PT Bentang Pustaka)
Terkadang, kau temukan mutiara dalam lumpur ketika melihat seorang Bong berkata dengan suara bergetar. “Gue ngeri, Bodhi.” Tubuh itu bergidik, meringkuk cemas sambil menatap langit seperti melihat setan di setiap molekul udara, kemudian menatapku, “Jauh-jauh orang ngomong soal neraka, Bod. Bukannya kita sekarang lagi terbakar hidup-hidup di sana?”
“Bernapas, Bong. Bernapas saja.” Aku mengajaknya untuk memejamkan mata, mengembungkan diafragma, mengisap, dan mengembuskan udara perlahan.
(Dikutip dari novel Akar karya Dewi Lestari, hlm. 33
Cetakan pertama, Maret 2012; Yogyakarta: PT Bentang Pustaka)
Interpretasi makna yang bisa ditangkap dari potongan teks novel di atas adalah ….
SOAL 10
Tak sampai sejam, aku muncul di rumah pamanku. Membawa seplastik bunga tabur. Om Lukman memandangiku dengan tatapan haru.
“Kamu kangen banget sama si Kambing, ya? Kirain kamu sudah lupa,” katana sambil mengusap sekilas rambutku.
Dibiarkannyalah aku sendiri di pekarangan belakangnya yang luas, tanpa mau menggangguku yang ingin mengenang saat-saat terindah bersama di Kambing, kucingku pertama dan terakhir yang mati kegencet televisi tujuh belas tahun yang lalu.
Kambing tutup usia pada umur 2 bulan. Dan, aku tidak ingat, apakah warnanya putih atau kuning atau campuran keduanya. Kambing nebeng dikuburkan di rumah Om Lukman yang punya lahan pemakaman khusus untuk hewan peliharaannya yang berjibun. Kambing bahkan dibuatkan satu nisan mini seperti yang lain-lainnya.
(Dikutip dari novel Petir karya Dewi Lestari, hlm. 104
Cetakan pertama, April 2012; Yogyakarta: PT Bentang Pustaka)
“Kamu kangen banget sama si Kambing, ya? Kirain kamu sudah lupa,” katana sambil mengusap sekilas rambutku.
Dibiarkannyalah aku sendiri di pekarangan belakangnya yang luas, tanpa mau menggangguku yang ingin mengenang saat-saat terindah bersama di Kambing, kucingku pertama dan terakhir yang mati kegencet televisi tujuh belas tahun yang lalu.
Kambing tutup usia pada umur 2 bulan. Dan, aku tidak ingat, apakah warnanya putih atau kuning atau campuran keduanya. Kambing nebeng dikuburkan di rumah Om Lukman yang punya lahan pemakaman khusus untuk hewan peliharaannya yang berjibun. Kambing bahkan dibuatkan satu nisan mini seperti yang lain-lainnya.
(Dikutip dari novel Petir karya Dewi Lestari, hlm. 104
Cetakan pertama, April 2012; Yogyakarta: PT Bentang Pustaka)
Pernyataan yang benar sesuai dengan kutipan novel di atas adalah ….